Saturday 30 April 2011

Pertama kali ke bidan

YUP!! Akhirnya saya melihat dua garis itu muncul di test pack saya!! Rasanya, gigi saya tidak bisa ditutup dan bibir saya terus menyunggingkan senyum. Ini test pack ketiga yang saya gunakan dalam tiga minggu setelah saya terlambat. Suami saya pun langsung memeluk saya erat sambil berkata “ALHAMDULILLAH”. Tidak ada kata yang lebih baik dari itu dan tidak ada kata yang mampu menggambarkan betapa kami bersyukur akan karunia ini.

Keesokan harinya, kami pergi ke rumah sakit bersalin di dekat rumah suami saya atas rekomendasi dari Ibu. Sebelum berangkat Ibu bilang kalau bidan di rumah sakit bersalin itu bagus, berpengalaman dan sudah terkenal. Jadi saya tidak masalah diperiksa bidan. Kami masuk ke bagian pendaftaran dan mendaftarkan diri untuk periksa kehamilan. Saya di depan meja pendaftaran itu bersama suami saya. Ada dua penjaga di meja itu. Seorang petugas pendaftaran dan saya belum tahu pasti siapa satunya. Kepada sang petugas pendaftaran, saya berkata, “Saya mau periksa kehamilan, bu. Apakah ada dokter praktek hari ini?” Sang petugas pendaftaran menjawab, “oh, kalau hari minggu tidak ada dokter praktek, yang ada hanya bidan. Bagaimana?”. “Ya sudah tidak apa.” Kemudian dia menanyakan nama saya, usia saya, dan bertanya apakah saya sudah menikah. Buat saya pertanyaan terakhir cukup aneh. Tapi saya memakluminya, mungkin memang saya terlihat sangat muda dan memang usia saya cukup muda. Saya jawab tegas bahwa saya sudah menikah. Si Ibu di sebelah petugas seperti tidak percaya dan bertanya dimana suami saya. *JEDENG* (saya jadi merasa seperti anak SMA yang hamil di luar nikah lalu seperti dihakimi atau dikasihani oleh si Ibu).

 “Ini suami saya, bu. Di sebelah saya, mendampingi saya. Dan kami sudah dua tahun menikah!!”
Ternyata si Ibu di sebelah petugas pendaftaran tadi adalah bidan yang akan memeriksa saya. Menurut sistem kalender, usia kehamilan saya sudah 7 minggu lebih 3 hari. Pengalaman yang lucu sekali. Kenapa banyak orang yang meremehkan kita ya?? Hahahahaha....

Sampai di rumah, saya ceritakan kepada Ibu apa yang terjadi. Ibu bilang, “Kalau periksa kehamilan itu sreg-sreg an alias cocok-cocokan. Nek kamu gak cocok, ya coba saja di tempat lain.”
Melihat jadwal dokter di rumah sakit itu tidak ada yang cocok dengan jam kerja saya, maka saya tidak kembali lagi ke rumah sakit bersalin itu. Karena hanya dokter yang berhak melakukan USG dan saya ingin menengok bayi kami. ^o^

Sunday 10 April 2011

Mie ayam sensitif

Di awal2 masa hamil ini, (saat itu saya belum tahu pasti kalau saya benar2 hamil), saya ingin mie ayam. Karena hari itu say menjenguk eyang di samirono, maka suami saya pun mengjaak saya makan mie ayam B*w*r yang memang berlokasi di samirono. Seperti biasa saya pesan mie ayam TANPA VETSIN. Saya sangat menegaskan hal itu. Saya pun mengambil tempat duduk menghadap si penjual. Sudah menjadi hobi saya melihat orang meracik sesuatu. Saya memperhatikan si penjual menaruh minyak, garam, vetsin ke dalam mangkuk, mengaduknya, menyaring mie dan sawi, menaruhnya di mangkuk kemudian menambahkan semur ayam di atasnya. Saya tidak menduga ternyata mie yang sedang ia buat itu untuk saya. Ketika sampai di meja, saya pastikan lagi, “ini pakai vetsin ya mas? Saya kan pesan tidak pakai vetsin. Boleh minta ganti gak?”. Si penjual menyanggupinya. Saya merasa tenang. Lidah saya dari dulu memang sangat peka terhadap vetsin. Apalagi saya baru pulang dari Eropa, membuat lidah saya terasa semakin peka terhadap rasa-rasa Indonesia yang kaya bumbu.

Saya kembali memperhatikan si penjual yang sudah setengah hati mengganti pesanan saya. Ternyata, dia hanya mengambil semangkuk mie yang sudah dia racik sebelumnya kemudian mengganti mangkuknya!! WHAAAATTTTT the what????!!!!!

1.    Ternyata konsumen bukanlah siapa2 bagi warung mie ayam ini
2.    Dia pikir saya anak umur berapa yang bisa dibohongi mentah2 sementara dari tadi saya memperhatikan dia?
3.    Kalau memang dia tidak mau mengganti, kenapa harus berbohong mau mengganti?
4.    Lebih parahnya, ketika menyajikan mie yang kedua, dia sengaja menyinggung saya dengan berkata, “di ayamnya lebih banyak vetsinnya mbak!”. Saya pun menjawab, “Saya tahu benar akan hal itu dan saya tidak mau menambah vetsin dalam santapan saya!”

Dan ya!! Seketika itu juga, selera makan saya hilang! Saya tidak jadi menyentuh mie ayam itu. Suami saya sangat pengertian. Dia hanya mengelus tangan saya dan menghabiskan mie-nya dan mie saya. Saya lapar sangat saat itu dan saya memang ingin makan mie ayam, tapi saya benar2 tidak suka sikap penjual congkak seperti itu. Dan entah kenapa, melelehlah air mata saya dari tempatnya. Saya mengaku malu—sangat malu-- kenapa bisa menangis hanya karena mie ayam super sepele. Tapi saya sendiri juga tidak bisa mengendalikan emosi ini. Setelah suami saya bayar, kami pun pulang dan saya malu karena air mata ini belum bisa berhenti. Saya merasa terlalu sakit dan super sensitif dan saya malu tidak bisa mengendalikannya. Suami saya memeluk saya dan berkata “Namanya juga orang yang tidak berpendidikan, masa yang s2 kalah?”. Saya pun semakin kencang memeluknya. Saya bersyukur karena dia selalu mengembalikan logika saya.

Monday 4 April 2011

Sepeda Pagi di Jogja

Pagi ini, pukul 6 lebih 15 menit, saya mengantarkan suami saya yang hendak kerja di Solo ke Terminal Giwangan naik sepeda. Berangkatnya saya dibonceng suami saya. *owh.. romantisnya ;p – wkwkwkwk... Terminal Giwangan ini berjarak tidak terlalu jauh dari rumah saya. Hanya sekitar 1 km. Perjalanan berangkat terasa lama karena memang berat membonceng dengan sepeda, ditambah lagi jalanan yang tidak datar. Sampai di depan terminal, suami saya pamit dan saya pulang dengan sepeda.

Ini bukan kali pertama saya bersepeda lagi. Lebih tepatnya ini bukan kali pertama saya bersepeda lagi di Yogyakarta semenjak kepulangan saya dari Belgia. Sebelumnya saya lebih sering bersepeda berkeliling kampung Nyamplung Raya di Gamping. Atau ke Superindo, atau ke rumah tante Sofiah yang tak jauh dari rumah Sorosutan. Pagi ini saya melewati jalan yang cukup besar, dari terminal ke rumah Sorosutan. Saya memperhatikan dibeberapa ruas jalan telah ditandai jalur khusus untuk sepeda di Yogyakarta ini. Jalur khusus itu ditandai dengan marka di bahu jalan selebar kira-kira 1meter dengan cat marka berwarna kuning. Di beberapa lampu merah juga ada tempat tunggu khusus sepeda bercat hijau di paling depan. Hal ini membuat saya senang karena ini artinya pemerintah kesultanan Yogyakarta yang istimewa ini memang memiliki niatan baik untuk mengurangi tingkat polusi dan hal ini ditunjukkan dengan sarana yang mereka cipatakan untuk kenyamanan bersepeda. Saya tidak tahu mengenai sarana hukum yang melindungi pengendara sepeda di sini. Semoga hal itu juga sudah dibuat oleh pemerintah.

Ruang tunggu sepeda di lampu merah Gondomanan
Selama saya bersepeda, saya merasa cukup aman dengan adanya jalur khusus sepeda tersebut. Namun tetap saja ada yang membuat saya belum merasa nyaman sepenuhnya. Hal ini disebabkan karena cukup banyak pengendara sepeda motor yang mengambil jalur khusus tersebut padahal jalur tersebut jelas bergambar sepeda bukan sepeda motor. Lebih parahnya, sepeda motor yang mengambil jalur khusus tersebut tidak hanya sepeda motor yang searah dengan saya, tapi tak sedikit juga yang BERLAWANAN ARAH!!! *Haduuuuhhhh.... tepok jidat ketok meja3x!!!* Tak jarang pula saya dipepet oleh pengendara mobil padahal saya sudah berada di paling pinggir aspal. Ibarat kata, saya hanya numpang aspal sedikit biar jalannya rata, tidak nggronjal-nggronjal.

Saya sedih ternyata promosi pemerintah untuk bersepeda ke sekolah, ke kantor dan ke tempat kerja yang dibarengi dengan sarana yang mendukung kenyamanan bersepeda belum didukung sepenuhnya oleh KESADARAN MASYARAKATNYA. *Hiks hiks hiks... sedih saya...

Pengendara sepeda pagi ini yang saya liat hanyalah anak-anak SD dan SMP (tidak ada lagi anak SMA yang bersepeda), orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah (ini pun tidak banyak, bisa dihitung jari), pedagang (ditandai dengan dua buah keranjang besar di kiri kanan sepedanya), dan saya.
Semoga pemerintah tidak bosan berpromosi gerakan bersepeda dan masyarakat semakin tinggi kesadarannya untuk mengurangi tingkat polusi di Indonesia, khususnya di Yogyakarta yang istimewa.