Friday 4 December 2015

Are you ready for the future?


The Future medicine is food. Saya pernah baca kutipan ini di salah satu berita di Amerika. Jadi saat ini beberapa Universitas di Amerika seperti Tulane University dan Standford University mewajibkan mahasiswa dari Fakultas Medicine untuk belajar tentang bagaimana mengolah makanan. Menurut saya ini bagus karena memang penyakit asalnya dari apa yang kita konsumsi. Tapi apa benar kalau sekarang kita menyebut food is our ‘future’ medicine, sedangkan sejak dulu kala Hippocrates sudah bilang “Let food be thy medicine and medicine be thy food”.  Itulah karena kita terlalu tertuju pada solusi akhir, bukan penyebab suatu masalah. Jumlah penderita penyakit diabetes dan penyakit degenratif lain semakin meningkat setiap tahunnya. Bahkan penyakit degenerative ini tidak hanya menyerang manula, tapi juga sudah menjalar hingga usia muda. Banyak sekali penelitian dilakukan untuk menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut, namun kita lupa untuk focus pada akar masalahnya. Jika kita bisa menghadirkan solusi yang berakar pada sumber masalah, tentu kasus tersebut tidak perlu meningkat jumlahnya.

Jika di satu sisi (bidang kesehatan) mereka mulai belajar tentang makanan, lalu apa yang dipelajari orang-orang yang belajar tentang makanan? What’s gonna be the future food, then?

Orang-orang yang belajar banyak mengenai makanan, teknologi pangan, telah banyak menemukan berbagai cara untuk mengawetkan makanan, memformulasi makanan, menciptakan makanan yang super. Banyak orang membicarakan tentang super food, makanan yang dianggap memenuhi segala kebutuhan zat gizi manusia. Lalu jika makanan super itu memang benar adanya, apakah manusia akan hanya mengonsumsi itu saja? Bayangkan jika makanan super itu benar adanya, lalu manusia ingin mengonsumsi makanan itu saja, lalu banyak industry ingin memproduksinya karena dianggap akan mendatangkan banyak laba. Apa yang akan terjadi dengan bumi? Akankah bumi ditanami hanya beberapa jenis makanan sebagai bahan baku makanan super tersebut? Lalu jika manusia hanya makan satu jenis saja, apakah tidak akan bosan? Apakah tidak berlebihan? Bukankah sesuatu yang berlebihan tidak akan baik? Nyatanya, itulah yang terjadi pada ibu pertiwi saat ini. Manusia sudah terlalu rakus.

Menurut saya, tidak ada satupun makanan di dunia ini yang super, begitu pula manusia. Kuncinya ada dua: diversity and moderation. Keanekaragaman dan sikap tidak berlebih-lebihan. Kita harus bisa mempertahankan keanekaragaman hayati dalam apa yang kita konsumsi. Mari kita cek kembali apa yang kita makan sehari-hari.
Sudah cukup beraneka ragamkah apa yang kita makan? Apakah sumber karbohidrat kita tidak hanya nasi? Dalam seminggu, berapa jenis sumber protein yang sudah kita konsumsi? Cara memasak, apakah kebanyakan lauk kita digoreng? Tengoklah isi kulkas kita, apakah sebagian besar terdiri dari bahan segar atau olahan?

Jika menurut orang dari bidang medis, obat masa depan adalah makanan, maka menurut saya sebagai orang pangan, makanan masa depan adalah aneka ragam hasil alam. Tentu hal ini sangat berdekatan dengan bidang pertanian. Jika setiap rumah tangga bisa setidaknya menanam 10 jenis bahan pangan di halaman rumahnya, maka sesungguhnya kita tidak hanya menanam tanaman tersebut, tapi juga menanam budaya untuk melestarikan alam. Tidak hanya sampai di bidang pertanian. Untuk bisa dimanfaatkan dan dikonsumsi dengan nikmat, maka hasil pertanian tersebut perlu diolah menjadi makanan yang enak. Disinilah kita membutuhkan peran dari koki untuk menciptakan resep-resep makanan yang sesuai dengan cita rasa konsumen. Akan lebih baik lagi jika formula kenikmatan ini bisa disebarluaskan kepada masyarakat luas agar masyarakat tidak hanya sebagai penonton, tapi juga sebagai peserta yang turut mengembangkan dan melaksanakan konsep konsumsi yang beraneka ragam. Terlebih lagi jika formula yang sudah dikembangkan oleh para koki ini sampai kepada para ibu kece yang dengan setulus hati dan penuh cinta memasak untuk keluarganya, formula/resep itu tidak hanya nikmat di lidah dan sehat di raga, tapi merasuk ke dalam sanubari dan menumbuhkan jiwa-jiwa yang berbudi pekerti luhur. Bagi saya, itulah jiwa dari makanan masa depan.