Wednesday, 1 February 2012

Drama Persalinan Pertamaku

Kehamilanku ini sudah lebih bulan. Harapanku untuk bisa melahirkan normal sangatlah besar. Dokter kandunganku juga sangat mendukung untuk persalinan normal. Aku bilang sama dia, "pokoknya saya ndak mau caesar, dok".

Sabtu, 17 Desember 2011
Pagi hari pukul 6, aku dan mas dim pergi ke terminal Jombor untuk jemput mama. Terus kami langsung sarapan bubur. Siang harinya kami pergi ke Pasar Beringharjo belanja sayur, mampir Pasar Kranggan, mampir Kiddo juga beli BH menyusui dan liat2 perlengkapan ASIP (ternyata disana mahal banget). Sampe rumah, langsung belanja perlengkapan ASIP di onlineshop.

Malam hari, jadwalnya kontrol ke dr. Irwan. Semua masih normal. Aku belum juga merasakan kontraksi sama sekali. Dr. Irwan menyarankan untuk induksi besok pagi. Mama kurang setuju. Jadi kami diskusi cukup panjang malam itu. Ketika itu, kami memutuskan untuk melahirkan di RSUP Sardjito supaya bisa menggunakan ASKES dan untungnya dr. Irwan juga praktek di Sardjito. Kami pun pulang dan bersiap2 untuk melakukan induksi besok pagi. Induksi ini dilakukan untuk merangsang kontraksi dan pembukaan jalan lahir. Ibu akan tetap bisa melahirkan normal.

Minggu, 18 Desember 2011

Pukul 02.00 WIB
Alhamdulillah bisa tidur nyenyak semalam.. Tapi seperti biasa, aku terbangun jam segini. Seperti sudah otomatis. Tapi kali ini aku tidak bisa tidur lagi. Miring kiri... Miring kanan... Tetap tak bisa tidur. Akhirnya ku putuskan untuk bangun dan solat tahajud.

Pukul 03.00
Aku selesai solat tahajud. Kembali ke tempat tidur dan aku merasa seperti ingin buang air besar. Tapi kok hanya sebentar? Selang 5 menit, rasa itu kembali muncul. Mak, pengen boker gak sih nih? Eh, ilang lagi... Lima menit lagi, begitu lagi. Dan begitu terus sampe jam 4 kurang 10 menit. Ok, kayaknya emang harus boker nih, sekalian wudhu lah. Bangunlah saya menuju kamar mandi. Yaaah.. Ada papa lagi siap2 mau ke masjid. Akhirnya aku menunggu di depan TV. Adzan subuh berkumandang, dan ‘seeeerrrrrrr....’. Waduh, rasanya kok kayak mens ya? Akhirnya aku mendapatkan giliran ke kamar mandi dan ternyataaaaa... Flek sodara2... Berteriaklah saya dari dalam kamar mandi, “Ayaaaaaahhhhh” (panggilanku untuk suamiku). Suamiku datang. “Adek udah flek... Tolong siapkan mobil yaa...”.

Rasa ingin bab hilanglah sudah. Tadinya mau wudhu, akhirnya sekalian mandi. Selesai mandi aku pun bersiap-siap. Mama ku bangunkan untuk ikut denganku.

Sekitar pukul 05.00 kita berangkat ke RSUP Sardjito. Aku langsung masuk UGD. Di ruang UGD, aku di tensi. Cukup tinggi. Selang 30 menit, aku ditensi lagi. Sama aja. Aku menunggu cukup lama untuk sesuatu yang aku tidak ketahui. Ternyata dokter jaga harus meminta ijin dr. Irwan dulu untuk melakukan pemeriksaan dalam dan dr. Irwan agak sulit dihubungi. Setelah bisa dihubungi, dilakukan pemeriksaan dalam. Belum bukaan. Duh.. Padahal udah kontraksi terus tiap 4-5 menit.

Pukul 07.00 aku dipindahkan ke ruang bersalin di Gedung Bedah Sentral Terpadu. Ketemu lagi sama dokter jaga yang melakukan tes NST hari Rabu lalu. Dan aku pun menjalani NST dan CST lagi (kepanjangannya saya lupa). Semua normal. Kontraksi makin intens.

Pukul 08.00 diperiksa dalam lagi. Belum bukaan juga. Akhirnya mulai induksi dengan obat. Kontraksi lebih teratur tiap 4 menit sekali. Sambil menunggu, aku makan, baca novel Andrea Hirata yang Padang Bulan, mainan marble di HP sampe bosen. Lalu...

Tepat adzan dzuhur, ‘pletok...’ air ketuban ku pecah. Voila!! Mudah2an udah banyak ya bukaannya.... Diperiksa dalam lagi, belum juga bukaan. What??? Duh... kenapa begini? CST lagi. Semua normal. Ditensi, cukup tinggi. 140/90. (biasanya Cuma 100/70). Denyut jantung bayi juga ikut naik. Biasanya 120, sekarang 138-150.

Pukul 16.00, diperiksa dalam, baru bukaan satu. Ok, bagus! Ada perkembangan. Lanjut induksi obat lagi. Dan aku pun ketiduran. Sekitar Magrib, dr. Irwan datang dan aku pun terbangun. Dilakukan pemeriksaan dalam lagi, sudah bukaan 3. Great! Aku minta obat pengurang rasa sakit. Dikasih obat yang dimasukin lewat (maaf) dubur. Jiah, malah kebelet boker beneran... Dan aku pun terpaku melihat obat yang belum ada 5 menit masuk itu kini berada di WC.. Sakit lagi dunk gw nanti??

Papa mama datang. Mama nyuruh aku jalan2 terus. Semua orang menatapku prihatin. Aku masih semangat jalan2. Kalo sakit, aku nungging. Jadi caper deh aku bolak balik ke kamar mandi terus. Selain biar jalan2, emang kebelet pipis terus..

Pukul 22.00, periksa dalam lagi, malah bukaan 2. Ini karena yang meriksa bidannya galak pisan!! Jadi tegang. Akhirnya lanjut induksi dengan oksitosin. Kontraksi makin luar biasa, tapi justru jadi jarang. Tiap 7 menit kontraksi datang. Dan aku mulai kehabisan tenaga. Lemes banget.

Mama telpon dan menyarankan cesar. Aku pasrah. Aku gak tahu harus gimana. Satu sisi sedih banget karena justru mamaku sendiri (orang yang melahirkan normal 4 kali) yang menyarankan aku untuk cesar. Dari awal aku benci cesar. Aku gak suka operasi. Aku paling takut operasi dan aku belum pernah operasi. Tapi sisi lain, seperti yang mama bilang, apa aku masih kuat untuk mengejan? Akhirnya menjelang tengah malam, diputuskan untuk menghentikan induksi dan pilih operasi cesar. Tanda tanganlah suamiku. (kenapa gak aku yang tanda tangan? Kalo tanda tangan aja kan aku masih kuat..)

Senin, 19 Desember 2011
Sekitar pukul 02.30 operasi dimulai. Aku disuruh duduk di meja operasi, memegang bantal besar, disuruh tegak untuk dibius tulang belakangnya. Samar-samar karena sudah ngantuk berat dan gak pake kacamata, aku melihat dr. Irwan sedang duduk di depanku mencoba mengumpulkan nyawa (sepertinya dia juga ngantuk atau kecapekan). Setelah disuntik, aku disuruh berbaring. Di depan dadaku dipasang tiang dan kain. Lalu perutku digaruk2, dites, sudah kebal belum. Aku bilang belum. Terasa sakit dan perih. Ditunggu sebentar lagi, dites lagi, belum juga kebal. OK, anestesi gagal. Kita ulang lagi. What?? Semua dibongkar. Tirai diambil dan aku disuruh duduk tegak lagi memegang bantal. Oh Tuhan, semoga kali ini berhasil.

Pukul 02.55 anak perempuanku lahir ke dunia dengan berat 3150 gr, panjang 46.5 cm, lingkar kepala 34.5 cm. Aku ngantuk berat waktu dioperasi. Aku hanya diberi lihat bayiku sepintas dan aku menciumnya sekilas. Setelah itu aku diberi obat tidur.

:: Drama Dimulai ::
Pukul 07.00 pagi aku tersadar dari pengaruh obat bius. Hanya ada suamiku di sebelahku. Mama dan om mimi (adik ku yang siaga) sudah pulang. Aku bertanya aku dimana. Masih di ruang UGD katanya. Bayiku dimana? Sudah dirawat di ruang bayi, suamiku menjawab. Aku ingin bertemu bayiku. Belum bisa... Tes.. tes.. tes... Ngucurlah airmataku. Katanya aku baru bisa bertemu bayiku kalau aku sudah bisa duduk. Lha sekarang aja kaki masih terasa tebal.

Pukul 09.00 aku dipindah ke ruang rawat inap. Hari ini aku disuruh belajar miring kiri, miring kanan dan duduk. Kalo besok aku sudah bisa duduk, aku bisa bertemu bayiku. Seharian aku sedih sekali. Kenapa harus operasi. Kenapa aku tidak bisa bertemu bayiku di jam-jam pertama kehidupannya. Dan semakin sedih hati ini saat si suster bertanya mau sufor atau asi eksklusif? Saya jawab dengan percaya diri, ASI!! Kalau begitu tolong ASI-nya dikirim ke ruang bayi. What?? Kenapa gak bayinya aja bawa kesini? Aku mau memerah ASI ku tapi tak ada tempat. Akhirnya seperti kesepakatanku dengan kakakku sebelumnya, aku minta ASI dia untuk bayiku. Dua botol (+200 ml) suamiku kirim ASI mbak Esti untuk bayiku. Sediiiih sekali aku tidak bisa IMD, tidak bisa memberikan ASIku dan tidak bisa berjumpa dengannya. Rasanya kangeeeeen berat. Sedih. Dan Sedih. Jadi aku Cuma nangis, nangis, berusaha tenang, dan nangis lagi... Yang mana ini justru bikin perutku semakin sakit.

Malam hari si suster menteror kembali. Dibilang bayiku nangis terus dan ASI sudah habis. Itu pukul 10 malam. Gak mungkin aku minta ASI lagi ke kakakku. Ini sudah malam, bung! Aku bilang, biarkan saja, atau dikasih air putih saja. Mereka tidak mau memberi air putih pada bayi. Alasannya, air putih tidak mengandung kalori. Setahuku, bayi yang baru lahir mampu bertahan 3 hari tanpa minum kok. Setelah suamiku berdebat, akhirnya kami pasrah karena tidak tega juga dengan bayi kami, suamiku menandatangani untuk diberi sufor. Maafkan mama, sayang..

Malam itu aku bertekad untuk membiarkan suamiku beristirahat tenang. Sudah dua hari dia berjuang sendirian. Tidak beristirahat bahkan hanya untuk meletakkan punggungnya pun tidak. Kesana kemari, mengurus segala macam, baik urusanku maupun urusan kantornya, pontang panting, makan tidak ku perhatikan. Dan malam itu, di tengah malam yang sepi, aku kehausan, tapi tak mampu hati ini untuk membangunkannya. Lalu aku teringat bayiku yang menangis kehausan dan aku menangis lagi sendiri.

Selasa, 20 Desember 2011
Pagi ini aku begitu bersemangat. Setelah dimandikan, aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa duduk. Yang ada di kepalaku hanya anakku. Aku ingin bertemu dengannya. Rasa antusiasme ini jauh lebih tinggi dengan rasa antusiasme saya saat saya ingin berangkat ke Eropa pertama kali. Aku ingin bertemu anakku!! Belum pernah aku punya motivasi sekuat ini. Dengan dibantu para suster, akhirnya aku bisa duduk di kursi roda dan suamiku membawaku ke gedung dimana bayi kami dirawat.

Aku bertemu bayiku. Dia menatapku. Aku memeluknya. Dia merasa nyaman, begitu pula aku. Aku menawarkan putingku. Dia menyambutnya. Oohhhh... ALHAMDULILLAH... BAHAGIA tiada terkira rasanya.
Tatapan pertamanya untukku

Hari itu juga akhirnya kami bisa rawat gabung. Rasanya senang sekali bisa menyusuinya kapan pun dia mau.

Sore hari, kateter dan infusku dilepas. Aku bebas dari selang-selang yang mengelilingiku.

Esok harinya, suamiku mengurus administrasi. Segala macam uang ku kumpulkan dari dompetku. Ada 3 juta cash. “Kalo kurang ini ATM ayah. Jangan lama-lama ya, Yah, ngurusnya.”, ujarku. Setelah suamiku kembali, ku tanya berapa biayanya. “tiga lapan”, jawabnya. “Hah? 3,8 juta?”, tanyaku mempertegas (*lumayan murah... batinku.). “tiga ratus delapan puluh lima ribu totalnya”, jelas dia. “HAH??? Yakin tuh?”

Setelah urusan administrasi selesai, kami diijinkan pulang.

Pelajaran yang bisa diambil dari drama ini adalah:
1. Setiap orang seharusnya terus belajar dengan tidak mengenal waktu dan usia. Bukan berarti setelah menjadi orang tua cukup lama, lalu menjadi lupa belajar menjadi nenek atau kakek yang baik.
2. “Every woman wants to deliver naturally, but somehow they lose their faith to deliver naturally, while they have tremendous capacity to do it” – Robin Lim. Artinya, seorang calon ibu hanya butuh didukung. Saat mereka ingin melahirkan, mereka tidak butuh nasihat atau perintah untuk tenang, rileks, santai. Tapi bisa kita AJAK untuk santai, dengan belanja, atau main game bareng, atau makan es krim, jalan-jalan dan ngobrol santai. Saat kontraksi datang, jangan suruh dia untuk bersabar. Tapi katakan bahwa “Ya, itu normal, itu alami, setiap wanita mengalaminya, tak lama lagi kamu akan bertemu dengan bayimu” atau kata-kata lain yang lebih menenangkan dan membangkitkan antusiasme calon ibu untuk bisa melahirkan normal daripada menyuruh untuk sabar, tenang, atau menyuruh jalan-jalan. Lebih baik mengajak.
3. ASI adalah selalu jauh lebih baik dari susu formula manapun. (Manusia makan daging sapi. Sapi mana yang makan daging manusia? Jadi jelas bukan susunya bagusan yang mana?) Daripada mempertanyakan apakah Air susu ibu benar keluar atau tidak, atau mempertanyakan berat badan bayi, atau menawarkan untuk menyambung dengan susu formula, dll, lebih baik memantau gizi si Ibu agar bisa memberi ASI eksklusif, menawarkan herbal2 yang mampu memperlancar ASI, membelikannya, mendukungnya untuk bisa ASI eksklusif, dll.
4. Beli lah pompa ASI jauh hari sebelum melahirkan. Kalau memungkinkan, buat stok ASI sebelum melahirkan untuk berjaga-jaga jika harus caesar dan tidak bisa langsung rawat gabung.

Semoga pengalamanku ini bisa bermanfaat untuk orang lain. Mari terus belajar.