Friday 14 August 2015

Food makes human, human

Gerundelan pikiran setelah membaca artikel NASA panen salad di luar angkasa.

Ilmu teknologi pangan bermula saat Nicholas Appert, seorang koki dari Perancis, mengembangkan proses pengemasan dengan menggunakan bahan dari gelas pada tahun 1784. Kemudian Louis Pasteur berkontribusi dalam bidang mikrobiologi pangan pada tahun 1864 dengan mencegah kerusakan wine. Sejak saat itu ilmu teknologi pangan terus berkembang untuk berbagai keperluan, salah satunya yang cukup pesat adalah yang dilakukan NASA untuk menyediakan makanan bagi para astronotnya di luar angkasa. Banyak sekali cara  ditempuh untuk melakukan penelitian bagaimana mengolah, mengemas, mengawetkan dan membuat super food, makanan padat gizi yang siap konsumsi dan memenuhi kebutuhan energi vitamin, mineral dan zat gizi lainnya yang dibutuhkan tubuh-hingga saat ini.


A prediction made in 1894 by the French chemist Marcelin Berthelot was that in the year 2000, humankind would have dropped agriculture and cooking would eat nutritive pills16. The year 2000 is over, yet we still stick to our cassoulet, roasted chickens and French fries. Why was Berthelot’s prediction so inaccurate? Berthelot was very enthusiastic about science in general and chemistry in particular, but he forgot that our food behaviour is dictated by both biological needs and our culture. First of all, our many sensory receptors (for odour, taste, consistency, temperature, pain …) have evolved so that, as Brillat-Savarin wrote, “The Creator, by forcing humankind to eat for his living, invited it by appetite and rewarded it by pleasure”17. From the point of view of receptor stimulation, pills are much weaker than cassoulets or sauerkraut. Secondly, we eat mostly according to culture: Alsatians like Munster cheese, in spite of its very strong odour but they do not eat durian fruits (a foul smelling but palatable fruit); Asian populations like durian fruits but are repelled by Munster cheese. Finally the maximum energy content of food is in fat, but an easy calculation shows that to get the necessary energy for living, we should eat about 300 g of fat per day, which would require a lot of pills. Clearly, nutritive pills are still a fantasy — it is very unlikely that we shall eat them, even in the year 3000! H. T. (This, 2002)

Saya sangat setuju sekali dengan Herve This yang menyatakan bahwa tidak akan ada nutritive pill, evolusi akan mencegahnya. Tidak secara harfiah kalau nutritive pill itu gak akan ada. Nyatanya nutritive pill itu ada. Suplemen. Tidak sedikit juga manusia yang mengonsumsi dan bergantung pada suplemen. Tapi bagaimana pun juga suplemen tidak bisa dan tidak akan bisa menggantikan makanan asli itu sendiri. Sesuai namanya, suplemen hanya akan menjadi tambahan dan tidak akan menjadi yang utama. Karena makanan tidak hanya memenuhi kebutuhan zat gizi, tapi juga kebutuhan emosional yang tidak bisa didapatkan dari suplemen atau makanan siap santap.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena makanan memiliki berbagai macam fungsi. Menurut Dr. Maya Adam dari Standford University, makanan memiliki dua fungsi utama. Yang pertama sebagai sumber zat gizi sebagai bahan bakar untuk berpikir (seperti yang sekarang saya lakukan—makan, berpikir), beraktifitas, dan untuk tumbuh kembang. Di sisi lain, makanan memiliki fungsi sosial. Makanan bisa berfungsi sebagai salah satu cara berkomunikasi, menunjukkan rasa kasih sayang dengan manusia yang lain (dan buat saya, makanan juga merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada ciptaan-Nya), merayakan suatu momen penting, dan makanan juga menjadi salah satu cara mewariskan kebudayaan dan tradisi. Makanan merupakan salah satu metode berkekuatan besar untuk komunikasi. Dengan makan, kita menjadi akrab, memiliki ikatan batin satu sama lain yang membuat kesehatan (tubuh dan) emosi kita terjaga dengan baik. Jadi makanan juga menjaga kita untuk tetap menjadi makhluk sosial. Ini makanan dari perspektif konteks sosial.

Meskipun teknologi menyediakan berbagai macam pilihan kemudahan baik dari segi persiapan, pengolahan, penyimpanan, distribusi, penjualan, penyajian, hingga konsumsi, namun tidak akan ada yang bisa menggantikan makanan asli yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Saya menyebutnya ini fitrah. Ini cara Allah berkomunikasi dengan makhluknya. Bahwa kita sebagai teknolog pangan mungkin bisa membuat makanan yang super—memenuhi kebutuhan gizi yang cukup tinggi untuk sekali makan, memiliki daya simpan yang cukup lama--lebih dari 2 tahun pada suhu ruang sehingga memudahkan dalam hal transportasi, penyimpanan, mudah dalam penyiapan, memiliki kemasan yang mudah untuk mengonsumsinya dan lain sebagainya. Namun kembali lagi bahwa semua itu tidaklah cukup untuk manusia. Nyatanya NASA yang banyak melakukan proyek untuk mengembangkan ilmu tentang teknologi pangan sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang di hampir seluruh permukaan bumi dan luar permukaan bumi, namun sekarang NASA juga yang memiliki proyek untuk menyediakan makanan segar di antariksa. Lihat ini. 

Bisa dikatakan ini adalah salah satu cara untuk mempersiapkan kehidupan manusia yang berkualitas di luar bumi. Pertanyaannya jika kita bisa membuat makanan super dengan menggunakan teknologi canggih mengapa perlu menyiapkan makanan segar yang tidak tahan lama? Bukankan ini pemborosan energi? Berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg salad? Dan berapa lama salad itu akan bertahan, jika mereka tidak segera mengonsumsinya, berapa banyak energi yang harus sia-sia? Dikatakan dalam website mereka, bahwa makanan atau sayuran segar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral di luar angkasa. Tapi bukankah sudah ada vitamin dan mineral dalam bentuk suplemen yang  bisa diatur untuk memenuhi (tidak lebih tidak kurang) kebutuhan manusia?

Lain halnya jika mereka hanya ingin melakukan percobaan. Tapi tentu ini percobaan yang sangat mahal. Jika mereka berusaha menyediakan makanan segar di luar angkasa, pertanyaannya untuk apa? Apa motivasi dibalik semua ini? Judul artikel ini mungkin menjadi jawabannya.

Bisa jadi karena teknologi justru memutuskan tali komunikasi kita dengan pencipta kita. Makanan berteknologi itu telah diproses dengan tahap-tahap yang begitu panjang, rumit dan pelik hingga menjauhkan kita dengan yang alami, yang Tuhan sediakan untuk kita sebagai cara Tuhan berkomunikasi merawat dan menyayangi kita.

Itulah mengapa saya percaya dengan prediksi Herve This yang mengatakan bahwa tidak akan ada Nutrition pills, but good real food. Saya tidak mengatakan bahwa ilmu teknologi pangan itu sesuatu yang tidak berguna. Tentu saja kita sudah banyak sekali merasakan manfaat dari bidang ilmu ini dan saya tidak mungkin bisa memungkiri nikmat yang satu ini. Itu diperlukan untuk waktu dan konteks tertentu. Namun sejatinya, kita sebagai manusia akan tetap rindu untuk kembali ke fitrahnya.

Pustaka
This, H. (2002). Molecular gastronomy. Angewandte Chemie - International Edition, 41(Imm), 83–88. doi:10.1002/1521-3773(20020104)41:1<83::aid-anie83>3.0.CO;2-F
https://www.youtube.com/watch?v=i2TC9J0KPWQ&index=4&list=PLB0AYRZmsMalvNbfs1qMWUeB2YF3CcOgI