Sunday, 10 April 2011

Mie ayam sensitif

Di awal2 masa hamil ini, (saat itu saya belum tahu pasti kalau saya benar2 hamil), saya ingin mie ayam. Karena hari itu say menjenguk eyang di samirono, maka suami saya pun mengjaak saya makan mie ayam B*w*r yang memang berlokasi di samirono. Seperti biasa saya pesan mie ayam TANPA VETSIN. Saya sangat menegaskan hal itu. Saya pun mengambil tempat duduk menghadap si penjual. Sudah menjadi hobi saya melihat orang meracik sesuatu. Saya memperhatikan si penjual menaruh minyak, garam, vetsin ke dalam mangkuk, mengaduknya, menyaring mie dan sawi, menaruhnya di mangkuk kemudian menambahkan semur ayam di atasnya. Saya tidak menduga ternyata mie yang sedang ia buat itu untuk saya. Ketika sampai di meja, saya pastikan lagi, “ini pakai vetsin ya mas? Saya kan pesan tidak pakai vetsin. Boleh minta ganti gak?”. Si penjual menyanggupinya. Saya merasa tenang. Lidah saya dari dulu memang sangat peka terhadap vetsin. Apalagi saya baru pulang dari Eropa, membuat lidah saya terasa semakin peka terhadap rasa-rasa Indonesia yang kaya bumbu.

Saya kembali memperhatikan si penjual yang sudah setengah hati mengganti pesanan saya. Ternyata, dia hanya mengambil semangkuk mie yang sudah dia racik sebelumnya kemudian mengganti mangkuknya!! WHAAAATTTTT the what????!!!!!

1.    Ternyata konsumen bukanlah siapa2 bagi warung mie ayam ini
2.    Dia pikir saya anak umur berapa yang bisa dibohongi mentah2 sementara dari tadi saya memperhatikan dia?
3.    Kalau memang dia tidak mau mengganti, kenapa harus berbohong mau mengganti?
4.    Lebih parahnya, ketika menyajikan mie yang kedua, dia sengaja menyinggung saya dengan berkata, “di ayamnya lebih banyak vetsinnya mbak!”. Saya pun menjawab, “Saya tahu benar akan hal itu dan saya tidak mau menambah vetsin dalam santapan saya!”

Dan ya!! Seketika itu juga, selera makan saya hilang! Saya tidak jadi menyentuh mie ayam itu. Suami saya sangat pengertian. Dia hanya mengelus tangan saya dan menghabiskan mie-nya dan mie saya. Saya lapar sangat saat itu dan saya memang ingin makan mie ayam, tapi saya benar2 tidak suka sikap penjual congkak seperti itu. Dan entah kenapa, melelehlah air mata saya dari tempatnya. Saya mengaku malu—sangat malu-- kenapa bisa menangis hanya karena mie ayam super sepele. Tapi saya sendiri juga tidak bisa mengendalikan emosi ini. Setelah suami saya bayar, kami pun pulang dan saya malu karena air mata ini belum bisa berhenti. Saya merasa terlalu sakit dan super sensitif dan saya malu tidak bisa mengendalikannya. Suami saya memeluk saya dan berkata “Namanya juga orang yang tidak berpendidikan, masa yang s2 kalah?”. Saya pun semakin kencang memeluknya. Saya bersyukur karena dia selalu mengembalikan logika saya.